Regulasi Penyiaran Belum Berpihak ke Radio Komunitas

JAKARTA – Lahirnya UU No. 32 tahun 2002, Tentang Penyiaran, harus diakui merupakan momentum pendemokrasian penyiaran. Jiwa demokrasi penyiaran ini salah satunya terlihat dari diakuinya lembaga penyiaran komunitas.

“Bila dulu radio komunitas atau media komunitas lainnya dianggap ilegal, sekarang secara legal lembaga penyiaran komunitas telah diakui oleh negara,” kata Idy Muzayyad dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam FGD yang diselenggarakan Sekolah Fundraising PIRAC dan JRKI yang didukung oleh Ford Fondation di Hotel Sofyan Betawi Jakarta, Kamis 8 November 2012.

Namun demikian, lanjut Idy, dalam perjalananannya lembaga penyiaran komunitas seperti Radio Komunitas (Rakom) ini tidak diperlakukan secara tidak adil, dan menjadi anak tiri dalam pengaturan lembaga penyiaran di Indonesia. Mestinya semua lembaga penyiaran harus diperlakukan sama, karena Rakom ini sebenarnya justru entitas penyiaran yang pengejawantahan demokratisasi penyiaran.

Idy menjelaskan lebih lanjut, saat ini radio komunitas memang telah diakui keberadaannya oleh negara. Keberadaannya diharapkan dapat mengangkat potensi lokal dalam berbagai sektor penyiaran, mulai dari kepemilikan, penggunaan sumber daya lokal hingga isi siarannya.

Namun persoalan perijinan masih menjadi kendala bagi radio komunitas. Proses pengurusan ijin, di mana lembaga penyiaran mengharuskan melibatkan partisipasi publik melalui mekanisme Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) yang diatur oleh Undang-Undang No. 32 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah, dan beberapa proses lainnya.

“Untuk pengurusan ijin kadang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak murah, karena setiap lembaga penyiaran di Indonesia harus mengantongi IPP (Ijin Penyelenggaraan Penyiaran) termasuk radio komunitas.” Jelas Idy.

Dikatan Idy, tak heran jika banyak radio komunitas yang tidak mengantongi ijin. Data KPI menunjukkan, dari ribuan radio komunitas yang beroperasi, baru 6 rakom yang sudah mengantongi IPP tetap dan 70 mengantongi IPP prinsip. Kondisi ini menggambarkan kesulitan dan kendala yang dihadapi rakom dalam mendapatkan ijin siaran.

Selain persoalan perijinan, Idy juga mengamati masalah regulasi penyiaran juga belum sepenuhnya berpihak terhadap radio komuntas. Dalam UU penyiaran yang dimulai mulai Pasal 21 sampai 24 mengungkapkan, bahwa radio komunitas harus independen, tidak komersil, daya coverage rendah, jangkauan terbatas untuk melayanani komunitas. Maksudnya adalah radio komunitas tidak ditujukan untuk mencari laba, bukan bagian dari perusahaan untuk mencari untung dan digunakan untuk mendidik masyarakat sejahtera serta non partisan dalam artian tidak mewakili lembaga asing/lembaga politik dan organisasi telarang.

Pembatasan alokasi frekuensi radio komunitas ini, diakui oleh Idy Muzayyad, sebenarnya tidak berpihak pada radio komuntas, karena alokasi tiga kanal pada 107.7 MHz, 107.8 MHz, dan 107.9 Mhz seringkali tumpang tindih dengan radio swasta yang daya kekuatannya lebih besar. Belum lagi bila frekuensi itu kemudian dipakai oleh radio swasta lain seperti yang terjadi di Jakarta.

Idy menjelaskan bahwa KPI ingin ada afirmasi terhadap rakom, salah satu strateginya adalah melakukan revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR ini. **(NH)



Leave a Reply