Pelatihan Lobi dan Advokasi Uji Tuntas Hak Asasi Manusia Sektor Perkebunan

Pertumbuhan ekonomi, hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, dan pembangunan adalah hal-hal yang saling berkaitan dan tak terpisahkan. Sektor bisnis telah menjadi salah satu aktor penting yang juga mengontrol bidang-bidang strategis ekonomi dan sosial suatu negara. Bahkan dalam banyak hal sektor bisnis dapat “menggantikan” peran negara untuk menyediakan fasilitas dan layanan publik. Kekuatan korporasi begitu tinggi, sehingga meningkatkan dan memperluas jarak hubungan yang tidak seimbang antara perusahaan dan masyarakat. Relasi yang tidak seimbang ini dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM.

Pelanggaran HAM sebagaimana yang dilaporkan Komnas HAM, dan lembaga-lembaga penggiat HAM dan lingkungan hidup di Indonesia, menempatkan korporasi sebagai aktor terbesar kedua pelanggar HAM setelah Kepolisian. Hal ini merefleksikan bahwa korporasi merupakan aktor non-negara yang memiliki potensi besar menjadi pelanggar HAM, apabila hal ini dibiarkan maka di khawatirkan akan membahayakan bagi masyarakat, lingkungan hidup, perekonomian bahkan keberlangsungan korporasi itu sendiri.

Namun di sisi lain korporasi juga merupakan entitas yang memiliki kapasitas dan pengaruh yang besar terhadap proses pembangunan dan penghormatan hak asasi manusia, khususnya di wilayah-wilayah tempat beroperasinya korporasi tersebut. Bisnis dan HAM merupakan area risiko yang terus berkembang untuk bisnis yang mengasumsikan dimensi hukum yang semakin meningkat. Seperti di banyak negara lain, respons yang bijaksana dalam penghormatan HAM oleh korporasi adalah melakukan uji tuntas (due diligence). Memang, banyak bisnis sudah melakukan uji tuntas dalam berbagai konteks, termasuk merger & akuisisi dan pembiayaan proyek. Namun, sifat uji tuntas hak asasi manusia berbeda dari uji tuntas yang biasa dilakukan perusahaan.

Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (disebut UNGP on BHR) menetapkan komponen uji tuntas (due diligence) HAM. Mengenali karakteristik unik dari uji tuntas HAM adalah dasar bagi identifikasi dan pengelolaan dampak hak asasi manusia yang efektif yang mungkin terkait dengan operasi, rantai pasokan, atau rantai nilai bisnis.

Meskipun banyak yang telah ditulis tentang uji tuntas HAM, masih ada ketidakjelasan tentang apa yang diperlukan di antara banyak bisnis. Panduan lebih lanjut diperlukan untuk membantu bisnis khususnya sektor perkebunan memahami ruang lingkup, makna dan konsekuensi dari uji tuntas HAM. Para pelaku bisnis atau Korporasi yang menjalankan bisnisnya terutama di sektor perkebunan harus didorong agar melakukan lobby dan advokasi Uji Tuntas HAM, hal ini penting dilakukan agar para pelaku bisnis dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Bisnis & HAM secara efektif dalam praktik bisnisnya.

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan sumber daya manusia untuk advokasi dampak dari aktivitas bisnis di sektor perkebunan, Konsil LSM Indonesia menggelar  pelatihan bertajuk “Due Diligence Hak Asasi Manusia Sektor Perkebunan“.  Pelatihan ini digelar di Jakarta pada tangal 11-12 April silam. Pelatihan ini menghadirkan 20 aktivis LSM baik anggota Konsil LSM Indonesia maupun non anggota yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, pemilihan-pemilihan daerah tersebut dimaksudkan oleh Konsil LSM Indonesia dikarenakan di wilayah-wilayah tersebutlah banyak industri-industri perkebunan Kelapa Sawit beroperasi. PIRAC berkesempatan mendapat undangan mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini sejalan dengan kegiatan PIRAC yang aktif dalam melakukan kegiatan advokasi kebijakan publik. Selain itu juga, PIRAC menjadi anggoa aktif perkumpulan Konsil LSM.

Pelatihan kali ini memfokuskan pada pentingnya implementasi Panduan Prinsip-prinsip Bisnis dan HAM PBB, dimana Indonesia sebagai negara yang menandatangani Konvensi tersebut. Memberikan pemaparannya kepada peserta pelatihan, salah satu pemateri Direktur Eksekutif Elsam, Wahyu Wagiman memaparkan metode lobi dan advokasi dalam uji tuntas HAM yang melibatkan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dalam Pemaparannya, Wahyu menekankan pentingnya tahapan identifikasi penggalian informasi untuk berhadapan dan melobi perusahaan. Tahapan ini menekankan penilaian terhadap potensi dan dampak operasi, produk maupun layanan perusahaan. Hal tersebut vital dikarenakan merupakan upaya pengalian informasi yan gberkaitan dengan faktor-faktor resiko sectoral, geografis, produk perusahaan, termasuk resiko-resiko yang diketahui telah dihadapi atau kemungkinan besar akan dihadapi perusahaan, akibat aktivitas dari bisnisnya.

Ada pengalaman lapangan yang menarik yang diceritakan oleh Joice, salah satu aktivis Scale Up dari Riau yang menjadi peserta pelatihan menceritakan pengalaman di lapangan ketika bekerja mendampingi dan mengadvokasi masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. “Masih banyak masyarakat dan aktivis di daerah yang belum memahami menganai Prinsip Bisnis dan HAM PBB, sehingga cara-cara konvensional seperti menggelar demontrasi atau konflik secara langgung masih menjadi pilihan masyarakat ketika menuntut hak dan keadilan yang telah dilanggar oleh perusahaan,” tutur Joice. Melalui pelatihan ini, Joice mengharapkan dapat memberikan pemahaman bagi aktivis maupun masyarakat di daerah yang berkonflik dengan perusahaan, mengenai bagaimana tahapan dalam melakukan komunikasi dan pendekatan komprehensif dan konstruktif antara perusahaan dan masyarakat terdampak perusahaan.

“Pelatihan ini dihelat merupakan bagian dari implementasi kerjasama program Civic Engagement Aliance (CEA) antara Konsil LSM Indonesia dan ICCO Cooporation,” kata Misran Lubis, Direktur Konsil LSM Indonesia, dalam sambutan pembukaan acara pelatihan. Aktivis kebun kelapa sawit ini berencana kedepan, Konsil LSM Indonesia akan secara intens terlibat secara aktif untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan UNGP Bisnis dan HAM, tidak hanya bagi kalangan LSM namun juga pemangku kepentingan seperti Pemerintah dan Perusahaan. Sehingga tercipta suatu atmosfer saling kesepahaman, tentnang bagaimanakan bisnis tidak hanya dapat memberikan benefit bagi perusahaan, tetapi juga menghargai, menghormati dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitaar, dimana perusahaan tersebut beroperasi. (AS)



Leave a Reply