Diskusi Filantropi Kesehatan Di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Filantropi dalam dunia kesehatan sangat  menarik, penting, sekaligus aktual untuk dibahas pada saat ini, khususnya di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan segala problematikanya. Penting juga untuk dikaji, perjalanan panjang sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia yang telah mengalami perkembangan sejak masa kolonial sampai era JKN dewasa ini, terutama dikaitkan dengan potensi serta posisi pendanaan dari filantropi.

Dalam rangka membahas persoalan di atas, Perkumpulan Filantropi Indonesia (PFI) menggelar diskusi setengah hari bertajuk “Prospek Filantropi Sebagai Sumber Alternatif Pendanaan Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)”, bertempat di Learning Center Tahija Enterprise, Graha Irama Lt.3, Kuningan, Jakarta Selatan. Diskusi ini adalah bagian dari Philanthropy Learning Forum – sebuah agenda rutin bulanan PFI – yang membahas tema-tema aktual dalam dunia filantropi.

Diskusi menghadirkan tiga orang narasumber, pertama Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gajah Mada. Narasumber kedua adalah dr. Risa Praptono selaku Public Outreach Coordinator DoctorSHARE. Pembicara ketiga M. Zakaria, Direktur RS Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa.

Sistem kesehatan terus bergerak

Dijelaskan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, sistem kesehatan di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang serta gerak perubahan dari masa ke masa. Di mulai dari era kolonialisme, pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu tidak menerapkan sistem negara kesejahteraan. Pelayanan kesehatan ditujukan terbatas bagi pegawai pemerintahan kolonial, militer, dan pegawai perusahaan besar.

Di era kolonial terdapat sejumlah Rumah Sakit misi dengan jangkauan terbatas, didanai oleh Charity Fund dan subsidi pemerintah kolonial. Pada masa itu sudah ada dokter yang menjalani praktik swasta (sejak abad 19) dan profesi dokter adalah profesi yang dapat menjadikan orang kaya raya. Penetapan tarif Rumah Sakit dilakukan pada tahun 1930-an.

Memasuki era republik (1945-1965), Indonesia mengalami defisit anggaran luar biasa sehingga pada waktu itu pemerintah tidak mampu memberikan jaminan kesehatan yang memadai bagi rakyat. Tidak ada kebijakan pendanaan yang jelas pada periode awal kemerdekaan sampai berkhirnya Orde Lama. Di awal tahun 1950-an diterbitkan Undang-Undang mengenai pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin tetapi tidak berjalan baik.

Pada masa itu akses kesehatan yang memadai masih terbatas pada pegawai pemerintah, militer, dan karyawan perusahaan besar.  Ada penurunan sumber dana dari charity dan subsidi pemerintah berkurang. Pada masa ini RS-RS swasta dan keagamaan mengandalkan pemasukan dari pasien berdasarkan tarif di berbagai kelas perawatan.

Pada kurun 1965-1998, situasi ditandai dengan sistem ekonomi pasar, ditandai oleh sektor swasata berkembang cepat termasuk bermunculannya RS swasta yang bercorak profit. Di sisi lain, tidak ada kejelasan mengenai aturan pasar di dunia kesehatan. Dokter dapat melakukan praktek secara bebas.

Era reformasi (1999-sekarang) ditandai dengan adanya desentralisasi dunia kesehatan dan pemerintah menerapkan pendekatan negara kesejahteraan. Kesehatan dan sistem jaminan kesehatan telah menjadi isu politik. Masyarakat miskin mendapat pelayanan dengan dukungan Sistem Jaminan Kesehatan. Di sisi lain, dana yang bersumber dari dunia filantropi menghilang.

JKN dan beberapa persoalan yang masih dihadapi

Fakta yang terjadi di lapangan saat ini, menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, pelaksanaan JKN masih menemui sejumlah masalah, salah satunya kesulitan pendanaan yang dialami banyak Rumah Sakit (RS). Banyak Rumah Sakit mengalami kekurangan dana akibat tarif BPJS lebih rendah dari cost  dan tidak lancarnya Cash Flow BPJS.

Akibatnya banyak RS kesulitan membiayai kebutuhan seperti peremajaan gedung, memberbaiki fasilitas, menambah peralatan, hingga melakukan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Dari sisi pasien, realitas di lapangan saat ini juga menunjukkan masih banyak kebutuhan dana pasien yang tidak ditanggung oleh BPJS seperti biaya transportasi, biaya akomodasi, konsumsi bagi keluarga yang menunggu, dan lain-lain. Selain itu masih terdapat Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) BPJS yang gagal bayar akibat tidak mampu membayar premi secara teratur.

Dana filantropi untuk kesehatan masih perlu digali

Dunia filantropisme di Indonesia saat ini mengalami perkembangan pesat dengan potensi jumlah sumbangan yang dapat digalang terbilang besar. Menurut Perkumpulan Filantropi Indonesia (PFI), aktor-aktor kunci filantropi saat ini dapat dibedakan ke dalam kelompok sebagai berikut:

  • Donatur perorangan
  • Yayasan Keluarga (Family Foundation)
  • Yayasan Komunitas (Community Foundation)
  • Yayasan Perusahaan (Corporate Foundation)
  • Yayasan Keagamaan (Religious Foundation)
  • Yayasan Filantropi Media Massa (Mass Media Foundation)
  • Filantropi Komunitas (Community Based Philanthropy)
  • Filantropi Diaspora (Diaspora Based Philanthropy)

Dijelaskan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, terdapat dua kelompok filantropis berdasarkan besarnya sumbangan, pertama, kelompok/perorangan yang  memberikan sumbangan dalam jumlah besar tetapi jumlah kelompok/orangnya sedikit, kedua, kelompok/orang yang memberikan sumbangan dengan jumlah sedikit tetapi kelompok/orangnya banyak.

Kedua kelompok filantropi tadi dapat dijadikan sumber potensial bagi Rumah Sakit sebagai sumber pembiayaan. Salah satu cara yang dapat ditempuh guna menggalang dana publik salah satunya melalui situs/aplikasi urun dana (Crowdfunding).

Kegiatan menggalang dana publik untuk kesehatan antara lain nampak pada program/kegiatan yang dijalankan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Dompet Dhuafa dan DoctorSHARE. (SM)



Leave a Reply