Lembaga Filantropi Indonesia Siap Merespon SDGs

Era MDGs (Millenium Development Goals) telah berakhir di tahun 2015 dan berlanjut dengan agenda SDGs (Sustainable Development Goals). Hal penting yang perlu disoroti dalam SDGs adalah perubahan mekanisme kerja yang lebih inklusif dengan melibatkan multi stakeholders, tidak hanya pemerintah, namun juga lembaga masyarakat sipil (civil society organization), pihak swasta (private sector) serta lembaga filantropi. Pada era SDGs inilah seluruh stakeholders, khususnya lembaga filantropi, didorong untuk memanfaatkan peluang besar ini untuk dapat bersama-sama berkontribusi pada pencapaian SDGs.

PIRAC meneliti kesiapan lembaga filantropi merespon SDGs. Selain mengkaji kesiapan merespon SDGs, penelitian ini juga melihat penerimaan dan pemahaman, program, sumber daya yang dimiliki lembaga  filantropi dalam merespon SDGs.

Hasil penelitian PIRAC mencatat, program-program yang dimiliki oleh lembaga filantropi sudah sesuai dengan isu dari tujuan-tujuan SDGs. Mereka memiliki anggaran beserta perangkat dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan program yang pada akhirnya akan berkontribusi pada capaian agenda SDGs.

Dalam penelitian ini ada lima tema besar yang menjadi hasil temuan yaitu:

 Pertama, terkait tingkat pengetahuan lembaga filantropi terhadap SDGs. Data memperlihatkan bahwa beberapa lembaga filantropi telah berhasil menjadikan MDGs sebagai salah satu acuan dalam pembuatan program. Terdapat peningkatan persentase lembaga filantropi yang telah terlibat dalam MDGs (51%) dengan prospek keterlibatan mereka dalam SDGs (82%). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat lembaga-lembaga filantropi yang sebelumnya tidak terlibat dalam MDGs menunjukkan antusiasme untuk terlibat dalam SDGs.

 

Kedua, terkait persepsi lembaga filantropi terhadap SDGs, hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas dari mereka telah setuju bahwa SDGs memiliki keselarasan terhadap kerja lembaga. Beberapa mereka bahwakan menyatakan bahwa tidak diperlukan budget khusus untuk merespon SDGs ini karena sudah terintegrasi dalam program lembaganya, namun beberapa menyatakan penting ada budget khusus agar pencapaian SDGs lebih optimal. Telepas dari perbedaan persepsi ini, mereka sepakat bahwa pada akhirnya program lembaga filantropi akan berkontribusi pada pencampaian SDGs.

 

Ketiga, dilihat dari penerimaan dan keterlibatan lembaga-lembaga filantropi terhadap SDGs, setidaknya terdapat 3 karakteristik besar lembaga filantropi dalam menyikapi SDGs, yaitu 1) lembaga filantropi yang menerima dan mendukung SDGs, yang memiliki program dan fokus pada isu pembangunan berkelanjutan. 2) lembaga filantropi yang sudah bisa menerima SDGs, tetapi belum berkomitmen. Lembaga ini masih skeptis dengan adanya SDGs. Hal ini merujuk pada pengalaman pada MDG yang masih belum dimengerti oleh mereka. 3) lembaga filantropi masih belum bisa menerima SDGs. Lembaga ini memiliki fokus isu isu tertentu sehingga kurang menindahkan isu global beberapa alasan mengapa lembaga filantropi masih belum dapat menerima SDGs, diantaranya adalah:

  • Lembaga lebih mengutamakan dan berfokus pada aktivitas lembaga untuk masyarakat
  • Pemahaman lembaga terhadap SDGs yang masih parsial dikarenakan masih adanya anggapan SDGs merupakan program baru atau anggapan lembaga harus mengerjakan seluruh tujuan dari SDGs
  • Lembaga masih tidak paham manfaat dari SDGs

 

Keempat, penelitian ini memperlihatkan bahwa seluruh lembaga filantropi sebenarnya telah memiliki program-program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konvergensi program-program yang dimiliki oleh lembaga filantropi dapat menjadi kontribusi besar bagi pencapaian SDGs. Konvergensi disini dimaknai sebagai pengintegrasian capaian program untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan yang dalam hal ini SDGs. Lembaga filantropi juga sudah terbiasa melakukan kerjasama/kemitraan dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan programnya dan ini menjadi bagian dari konvergensi program SDGs itu sendiri.

 

Kelima, temuan lain penelitian ini adalah kondisi kesiapan lembaga dalam SDGs. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan filantropi diatas rata-rata, hampir mendekati kuat. Mereka kuat dalam perencanaan program dan kegiatan. Lembaga filantropi juga memiliki kapasitas dalam pelaksanaan, pengembangan dan inovasi program, monev serta seharing dan penyediaan informasi untuk publik. Namun mereka mengeluhkan terkait dengan kapasitas dan profesionalisme staf yang masih pada di tataran rata-rata.

Tantangan terbesar dalam melibatkan lembaga filantropi dalam SDGs adalah minimnya sosialisasi di kalangan lembaga filantropi. Belum banyak lembaga filantropi memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam pencapaian agenda SDGs. Sehingga, banyak lembaga filantropi masih berkutat dengan agenda programnya masing-masing. Selain itu, sebaran program lembaga filantropi juga masih bekonsentrasi pada program pendidikan dan kesehatan, sehingga sebarannya belum merata di semua indikator capaian SDGs. Tantangan lainnya adalah saat ini masih belum ada pengakuan dari pemerintah terkait dengan kontribusi lembaga filantropi dalam pembangunan.

Penelitian ini juga mencatat setidkanya terdapat dua hambatan yang dihadapi oleh lembaga filantropi dalam merespon SDGs. Pertama, respon pemerintah dalam inisiatif aktivitas program lembaga filantropi.. Kedua, keberlanjutan pendanaan untuk internal lembaga. Namun, tantangan dan hambatan ini dapat diatasi dengan cara keterbukaan kerjasama seluruh pemangku kepentingan. Penelitian ini merekomendasikan adanya keterbukaan dari pemerintah untuk membangun keterlibatan dengan lembaga filantropi dan sektor lain untuk pencapaian SDGs. Pemerintah harus berperan lebih aktif sebagai koordinator yang menghubungkan seluruh sektor, yaitu lembaga filantropi, LSM atau NGO, sektor privat, dan lainnya, untuk bekerja sama dalam pencapaian SDGs dengan memahami landasan historis-filosofis, prinsip-prinsip, pendekatan dan visi SDGs.



Leave a Reply