Diskusi Publik dan Desiminasi Hasil Studi Fundraising Menuju Keberlanjutan Radio Komunitas di Kendari

KENDARI – Jaringan Radio Komunitas (JRK) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengadakan Diskusi Publik dan Desiminasi Hasil Studi Fundraising Menuju Keberlanjutan Radio Komunitas yang telah dilakukan Sekolah Fundraising PIRAC dan JRKI selama satu tahun ini. Kegiatan ini bertempat di Kafe Pondok Bamboe, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, 21 Juli 2013.

Pada kesempatan itu, Ibrahim, Ketua JRK Sulawesi Tenggara memberikan hantaran tentang diskusi ini dan sekaligus bertindak sebagai moderator. Narasumber yang hadir dalam acara ini adalah Maifil Eka Putra dari Sekolah Fundraising PIRAC, Leri Iskandar (WWF dan pengamat Rakom), Kasmari (Rakom Simponi).

Maifil mengungkapkan, setiap Radio Komunitas lahir dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di Indonesia banyak tumbuh radio komunitas namun banyak pula berguguran karena tidak mampu mempertahankannya karena terkendala biaya. Karena itu Sekolah Fundraising PIRAC berkerjasama dengan JRKI dan beebrapa JRK di Indonesia sepakat mengadakan studi keberlanjutan Rakom.

“Diambil 15 Rakom di Indonesia sebagai lokasi studi. Dari 15 Rakom ini kemudian dipelajari bagaimana mereka berkembang dan berlanjut. Ilmu dari Rakom ini kemudian dibukukan, divideokan dan menjadi bahan ajar bagi JRKI dan JRK untuk mengembangkan Rakom di Indonesia,” ujar Maifil.

Untuk Sulawesi Tenggara, lanjut Maifil, Sekolah Fundraising PIRAC melakukan studi di 3 Rakom; Cemara, Simponi dan Rajawali. Hasil studi inilah yang diperkenalkan kepada publik dalam diskusi publik dan berbuka puasa JRK, Mahasiswa Komunikasi, NGO, Rakom dan pengamat di Kendari kali ini.

Kasmari, dari Rakom Simponi dalam diskusi publik ini menjelaskan. Tadinya ia tidak mengenal radio yang dia bangun adalah radio komunitas. Setelah JRK melakukan pembinaan ia baru tahu yang dilakukan bersama warga lain adalah membentuk Radio Komunitas atau radio warga.

“Radio Simponi lahir tahun 1999 karena hasrat bersama untuk bersatu, karena di wilayah kami terdiri dari berbabagai suku bangsa. Sebelum Simponi berdiri antar suku sering bergesekkan, terutama saat hajatan dan panggung hiburan. Akan tetapi setelah Simponi berdiri, mereka menjadi bersaudara di udara dan bersilaturrahmi di darat baik dalam duka maupun suka,” jelasnya.

Pernah di tahun 2007, kata Kasmari, Radio Simponi dilarang untuk mengudara karena dianggap melanggar hukum menyiarkan radio secara ilegal.

“Kami waktu memang tidak tahu aturan pemerintah tentang frekwensi, karena kami warga pengen ada sebuah media informasi maka kami nekat mengudara,” jelas Kasmari.

Akibat pelarangan itu, Radio Simponi sempat tidak mengudara beberapa bulan. Selama itu pula menurut cerita Kasmari, para pendengar Simponi uring-uringan dan mendesak pengelola untuk segera menghidupkan kembali Rakom Simponi.

“Karena desakkan itu, kami berusaha menghubungi seluruh kandidat yang mau berlaga di Pilkada dan meminta sumbangsih mereka. Alhamdulillah mereka membantu dan akhirnya Simponi kembali mengudara dan Mei 2013 kemarin memperingati Ultah yang Ke-13 tahun,” jelas Kasmari yang akrab dipanggil Mas Bangun ketika menyiar.

“Rahasia keberlanjutannya, seperti yang tertuang dari buku hasil studi dari Sekolah Fundraising PIRAC, ternyata kekuatan kami ada pada kekuatan komunitas dan kemitraan. Secara umum digambarkan sebagai fundraising on air dan off air. Untuk itu kami terimakasih kepada Sekolah Fundraising PIRAC, yang dari hasil studi tersebut membuat kami semakin jelas untuk berbuat demi keberlajutan Rakom kami,” tambah Kasmari.

Sementara itu Leri Iskandar dari NGO WWF dan sekaligus pengamat Rakom yang dulu juga pernah mendirikan Rakom Suara Alam bersama komunitasnya mengungkapkan, WWF berkerjasama dengan JRK mendorong NGO untuk bermitra dengan Rakom agar Rakom sebagai media warga tetap hidup dan menjalankan tugasnya sebagai media informasi dan hiburan.

Untuk Fundraising, lanjut Leri, ada yang menarik dilakukan oleh Rakom Bajo yang merupakan Radio yang diinisiasi oleh Suku Bajo. Karena keterbatasan UU yang membuat Rakom tidak boleh menerima iklan, maka mereka membuat tabloid untuk media pendukungnya.

“Curhat-curhat dan wawancara serta berita di radio ditulis ulang dan dimasukkan ke tabloid dengan bahasa Bajo. Sehingga seluruh masyarakat Bajo merasa memiliki radio dan tabloidnya. Karena sasarannya jelas masyarakat Bajo terjadilah transaksi iklan di sana. Dan dengan penghasilan iklan di tabloid itu Radio dan Tabloid dapat hidup bersama dan berlanjut,” jelas Leri.

Selain Leri, ada Adi dari NGO setempat yang juga memberikan masukan dalam diskusi publik tersebut. Menurut Adi, perlu mengkaji soal karaktersistik komunitas sebelum mendirikan radio. Tentunya penentuan karakteristik itu akan menjelaskan kebutuhan komunitas terhadap radio itu. “Ketika radio itu dibutuhkan masyarakat maka radio itu akan dapat berumur panjang karena dijagain oleh komunitasnya sendiri,” terangnya.

Setelah sesi tanya jawab yang sampai pada larut malam, maka kegiatan dilanjutkan dengan menonton film dokumenter hasil studi fundraising rakom. Acara ditutup dengan makan bersama.



Leave a Reply