Kesiapan Lembaga Filantropi Indonesia dalam Mendukung Pencapaian SDGs

 

Ringkasan penelitian tentang kesiapan lembaga filantropi di dalam mendukung pencapaian SDGs dengan menganalisis persepsi, pemahaman, penerimaan serta komitmen dan kapasitas organisasi dalam mendukung pencapaian SDGs

Seiring dengan berakhirnya agenda MDGs, pada akhir tahun 2015, para pemimpin dunia telah menyerukan agenda baru untuk meningkatkan kehidupan manusia dan melindungi bumi. Agenda Pembangunan Pasca 2015, yang dikenal dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs) telah disepakati pada pertemuan United Nation Sustainable Development Summit pada 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat. SDGs merupakan seperangkat tujuan universal, target dan indikator dari agenda pembangunan yang disepakati di tingkat global. SDGs diharapkan dapat menanggulangi berbagai masalah global, termasuk menghapuskan kemiskinan dan kelaparan, memajukan kesehatan dan pendidikan, membangun kota-kota secara berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim serta melindungi lautan dan hutan.

Kesuksesan pencapaian SDGs akan bergantung pada kemitraan global yang inklusif dengan keterlibatan aktif dari pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga filantropi, akademisi dan lembaga-lembaga PBB. Salah satu aktor kunci yang diharapkan berperan dan berkontribusi besar dalam pelaksanaan SDGs adalah lembaga filantropi. Untuk meningkatkan peran dan keterlibatan lembaga filantropi dalam pencapaian SDGs, pada tahun 2014, diluncurkan SDGs Philanthropy Platform yang  bertujuan untuk memfasilitasi dialog internasional untuk tujuan kolaborasi antar lembaga filantropi, yang dimulai pada beberapa negara percontohan, yakni  Ghana, Indonesia, Kenya, dan Kolombia. Platform ini berfokus pada upaya untuk memasukkan filantropi di lanskap pembangunan dengan membantu lembaga-lembaga filantropi lebih memahami peluang untuk terlibat dalam proses dan tujuan pembangunan global.

Penelitian ini mengkaji kesiapan lembaga filantropi di dalam mendukung pencapaian SDGs dengan menganalisis persepsi, pemahaman, penerimaan serta komitmen dan kapasitas organisasi dalam mendukung pencapaian SDGs. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa optimalisasi peran dan kontribusi lembaga filantropi dalam mendukung SDGs akan sangat bergantung pada tingkat pemahaman, penerimaan, serta komitmen dan kapasitas organisasi dan sumber dayanya dalam mendukung program-program yang terkait SDGs. Dengan demikian, kerja-kerja sektor filantropi yang selama ini telah berfokus pada pembangunan masyarakat bisa diselaraskan dengan tujuan-tujuan SDGs.

Sampel Penelitian SDGs

Grafik 1: Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode campuran dengan mengkombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan datanya dilakukan melalui kajian dokumen/pustaka, survei, wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion). Pemilihan responden untuk survei maupun informan untuk wawancara mendalam dan FGD dilakukan dengan metode purposive dengan memperhatikan keterwakilan masing-masing jenis lembaga filantropi. Responden dan informan penelitian berasal dari 85 organisasi filantropi, yakni yakni yayasan filantropi keluarga, yayasan filantropi perusahaan, yayasan filantropi keagamaan, yayasan filantropi media massa, dan organisasi intermediaries (perantara).

Berikut rangkuman hasil penelitiannya:

Pemahaman Terhadap SDGs

Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan lembaga filantropi terhadap SDGs sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dari tingginya prosentase responden menjawab mengetahui tentang SDG, yakni 73%. Sementara 18% responden lainnya mengaku tidak mengetahui SDGs, sebagaimana terlihat pada grafik 1 di bawah ini.

 

Pengetahuan Lembaga Filantropi tentang SDGs

Grafik 2: Pengetahuan Tentang SDGs

Dari hasil survei tersebut, tim peneliti kemudian memperdalam informasi mengenai tingkat pengetahuan tersebut melalui wawancara dan FGD. Hasil analisis data dari dua metode pengumpulan data tersebut mengungkapkan bahwa terdapat 3 tingkatan pengetahuan lembaga filantropi dalam memahami SDGs, yaitu:

  1. Pemahaman umum mengenai SDGs

Pengetahuan tentang SDGs baru sebatas pada pengetahuan umum, seperti SDGs merupakan kelanjutan dari MDGs, SDGs merupakan program pembangunan global, SDGs merupakan program PBB, dan sebagainya.

  1. Pemahaman hanya sebatas 17 tujuan besar SDGs

Lembaga filantropi baru memahami 17 tujuan global dan menyelaraskannya dengan program-program lembaga. Misalnya, Beberapa pegiat filantropi menghubungkan dan mengaitkan program-program lembaganya dengan tujuan SDGs.

  1. Pemahaman sudah mencapai indikator-indikator SDGs

Lembaga filantropi sudah dapat memahami sampai tahap indikator-indikator yang ada di setiap tujuan SDGs, serta mengaitkan dan menyelaraskannya terhadap program organisasinya. Pegiat filantropi juga memahami bentuk-bentuk keterlibatan dan kontribusi lembaga dalam mendukung SDGs serta manfaat yang didapat dengan mengaitkan program lembaga dengan tujuan SDGs. Beberapa lembaga bahkan sudah berhasil memanfaatkan SDGs dalam memobilisasi dukungan publik dan sektor swasta.

 

Persepsi Terhadap SDGs

Hasil riset menunjukkan bahwa lembaga filantropi yang jadi responden memiliki persepsi yang baik terhadap SDGs. Mayoritas dari mereka setuju bahwa SDGs memiliki keselarasan terhadap kerja lembaga. Hal ini dikarenakan sebelum adanya SDGs, lembaga filantropi telah memiliki program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, penyantunan dan lain-lain seperti dalam tujuan SDGs. Mayoritas lembaga filantropi juga berpendapat bahwa mereka harus mengawal dan mengawasi pencapaian SDGs. Terkait perangkat kerja (tools) SDGs, mayoritas lembaga filantropi merasa perangkat kerja ini dibutuhkan sebaga sarana untuk memastikan program-program nantinya bisa terimplementasi dan berkontribusi pada pencapaian SDGs. Hal lain yang juga menjadi perhatian organisasi filantropi dalam implementasi SDGs adalah kemitraan. Mayoritas lembaga filantropi berpendapat bahwa lembaga harus bermitra dengan pemerintah dan dengan pemangku kepentingan lain yang relevan, seperti LSM, perguruan tinggi, dan yayasan sosial lainnya.

Terkait dengan konsistensi program dan hubungannya dengan capaian SDGs, mayoritas dari mereka setuju bahwa konsistensi lembaga dengan program yang sudah dilakukan secara otomatis mendukung pencapaian SDGs. Karena, tujuan dan indikator-indikator SDG bersifat universal sehingga dapat beririsan dengan capaian program mereka. Pandangan lain yang dilihat dari lembaga filantropi dari penelitian ini adalah pandangan  bahwa organisasi harus menyediakan alokasi dana khusus untuk mendukung pencapaian SDGs. Atas pernyataan ini, mayoritas responden menyatakan setuju. Bagi mereka, tanpa alokasi dana khusus maka pencapaian SDGs akan sulit dilakukan oleh lembaga filantropi. Namun, sebagian lembaga filantropi lainnya tidak setuju pengalokasian dana khusus, karena anggaran yang dialokasikan untuk implementasi program-program mereka sudah serta merta akan mendorong pencapaian SDGs.

Persepsi Lembaga Filantropi Atas SDGs

Grafik 3: Persepsi Atas SDGs

Penerimaan terhadap SDGs

Hasil survei menunjukkan sebagian besar (82%) organisasi filantropi ingin terlibat dan mendukung program-program terkait SDGs. Hanya 13% dari responden yang menjawab tidak ingin terlibat dalam SDGs. Jika dikaitkan dengan keterlibatan mereka sebelumnya dalam MDGs, Terdapat peningkatan persentase lembaga filantropi yang telah terlibat dalam MDGs (51%) dengan prospek keterlibatan mereka dalam SDGs (82%). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat lembaga-lembaga filantropi yang sebelumnya tidak terlibat dalam MDGs menunjukkan antusiasme untuk terlibat dalam SDGs.

Keingingan Lembaga Filantropi untuk terlibat dalam SDGs

Grafik 4: Keinginan Terlibat Dalam SDGs

Pilihan untuk terlibat dalam SDGs dari responden lembaga filantropi didasari oleh alasan yang cukup beragam sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini. Alasan yang cukup banyak, yaitu bahwa program SDGs selaras dengan visi misi organisasi (24%). Alasan lain adalah karena program SDGs membantu organisasi berjejaring dan bersinergi dengan organisasi lain (16%). SDGs mengedepankan multistakeholders partnership sebagai salah satu strategi pencapaiannya, maka alasan tersebut menjadi masuk akal. Beberapa alasan lain yang cukup merata di kalangan lembaga filantropi untuk terlibat dalam SDGs diantaranya program SDGs membantu lembaga mengarahkan tujuan, program SDGs membantu lembaga menyelaraskan program-programnya dengan program pemerintah dan global, dan program SDGs penting bagi pembangunan nasional, serta program SDGs bisa membantu lembaga mengevaluasi dan mengukur kontribusinya terhadap pembangunan global, serta mereka sudah merasakan manfaat terlibat dalam MDGs sehingga ingin terlibat dalam SDGs.

Apabila dilihat dari penenerimaan dan keterlibatan lembaga-lembaga filantropi terhadap SDGs, setidaknya terdapat 3 karakteristik besar lembaga filantropi dalam menyikapi SDGs, yaitu:

  1. Lembaga filantropi yang menerima dan mendukung SDGs

Lembaga-lembaga filantropi dalam kategori ini memahami SDGs dengan baik dan melakukan transfer pengetahuan kepada seluruh pimpinan dan staffnya. Lembaga-lembaga tersebut umumnya memiliki program yang fokus pada isu pembangunan berkelanjutan.

  1. Lembaga filantropi yang sudah bisa menerima SDGs, tetapi belum berkomitmen.

Lembaga-lembaga filantropi ini sudah mampu memahami dan menerima adanya SDGs. Namun, mereka masih belum dapat berkomitmen untuk mengadaptasi dalam berkontribusi pada SDGs. Berdasarkan data yang dihimpun, beberapa lembaga filantropi memang sudah mendapatkan informasi mengenai SDGs, tetapi beberapa lembaga tersebut masih skeptis dengan adanya SDGs. Hal ini merujuk pada pengalaman pada MDGs yang masih belum dimengerti oleh mereka.

  1. Lembaga filantropi masih belum bisa menerima SDGs.

Lembaga-lembaga filantropi sudah memiliki fokus pada isu-isu tertentu. Sehingga, mereka kurang mengindahkan isu global. Berdasarkan hasil penggalian data, berikut beberapa alasan mengapa lembaga filantropi masih belum dapat menerima SDGs:

  • Lembaga lebih mengutamakan dan berfokus pada aktivitas lembaga untuk masyarakat
  • Pemahaman lembaga terhadap SDGs yang masih parsial dikarenakan masih adanya anggapan SDGs merupakan program baru atau anggapan lembaga harus mengerjakan seluruh tujuan dari SDGs
  • Lembaga masih tidak paham manfaat dari SDGs

 

Potensi dan Kapasitas Organisasi Filantropi

Penelitian ini memperlihatkan bahwa seluruh lembaga filantropi sebenarnya telah memiliki program-program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konvergensi program-program yang dimiliki oleh lembaga filantropi dapat menjadi kontribusi besar bagi pencapaian SDGs. Konvergensi disini dimaknai sebagai pengintegrasian capaian program untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan yang dalam hal ini SDGs.

Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas lembaga filantropi cenderung lebih banyak dalam melakukan program di bidang pendidikan, riset dan pengembangan. Adapun penerima manfaatnya terdiri dari anak-anak, pelajar/ mahasiswa, dan remaja/pemuda. Sehingga, jika merujuk 17 tujuan bersama dalam SDGs, mayoritas lembaga filantropi masih hanya berkonsentrasi di salah satu tujuan, yaitu bidang pendidikan. Selain itu, penelitian ini mencatat bahwa lembaga-lembaga telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah, lembaga keagamaan, NGO, media, dll.

Grafik 5: Kesesuaian Tujuan SDGs dalam Program Lembaga

Grafik 5: Kesesuaian Tujuan SDGs dalam Program Lembaga

Keterbukaan kerjasama tersebut meliputi kontribusi pendanaan program, distribusi informasi, maupun perizinan implementasi program.  Kerangka kerja SDGs menitikberatkan pada ruang inklusif terhadap seluruh pemangku kepentingan. Sehingga, model kemitraan yang kuat dapat menjadi modal dasar terwujudnya kerja bersama dalam pencapaian SDGs. Keaktifan lembaga filantropi dalam berjejaring atau kerjasama dengan pihak lain mencapai 90%. Keterbukaan lembaga filantropi berdampak pada terbukanya peluang untuk kolaborasi atau kerjasama baik diantara lembaga filantropi maupun antar sektor. Walaupun, kebanyakan kerjasama dilakukan  karena adanya kesamaan dan keselarasan visi misi dengan lembaga. Survei menunjukkan bahwa perusahaan merupakan mitra yang paling sering diajak kerjasama oleh lembaga filantropi (24%). Selanjutnya, presentase diikuti dengan LSM/Ormas (21%), pemerintah (20%), perguruan Tinggi (17%), dan lainnya 8%. Mitra lainnya yang juga berjejaring dan bekerjasama, diantaranya adalah media, lembaga bantuan internasional, maupun lembaga think tank.

Penelitian ini juga berupaya memetakan kapasitas lembaga filantropi dalam mendukung SDGs. Pemetaan dilakukan dengan pendekatan self assessment melalui skoring 1 (sangat lemah) hingga 5 (sangat kuat).

Kapasitas Organisasi Filantropi

Grafik 6: Kapasitas Organisasi

Hasil penilaian responden terkait kapasitas kelembagaan menunjukan skor 3,65. Angka ini menunjukkan bahwa kapasitas lembaga filantropi diatas rata-rata, hampir mendekati kuat. Adapun aspek-aspek kapasitas organisasi yang dinilai adalah sebagai berikut, (1) analisa masalah dan kebutuhan komunitas atau masyarakat pendampingan, (2) perencanaan program dan kegiatan, (3) pelaksanaan dan inovasi program, (4) perluasan atau pengembangan program baru, (5) monitoring dan evaluasi program, (6) penyusunan laporan program dan keuangan, (7) kapasitas dan profesionalisme staf, (8) efektivitas fungsi dan peran pengurusan (board), (9) kapasitas dalam membangun jaringan dan kemitraan dengan lembaga lain, (10) kapasitas dalam menggunakan pedoman dan tools lembaga, tata kelola dan akuntabiltas lembaga, (11) komitmen dan kesediaan untuk transparan dan berbagai data informasi, sumber daya, (12) pembiayaan dan keberlanjutan keuangan program, (13) sistem informasi dan sharing pengetahuan dan (14) penyediaan informasi untuk publik.

Dari berbagai aspek organisasi tersebut, skor tertinggi dari kondisi lembaga filantropi adalah perencanaan program dan kegiatan dengan skor 3,9. Angka ini menunjukkan perencanaan program dan kegiatan lembaga filantropi dalam posisi kuat. Sementara, skor terendah adalah kapasitas dan profesionalisme staf dengan skor 3,4. Angka ini menunjukkan kapasitas lembaga filantropi ini di atas rata rata. Semua komponen kondisi lembaga filantropi berada di atas skor 3 yang artinya di atas rata-rata, bahkan beberapa cenderung mendekati kuat.

Tantangan terbesar dalam melibatkan lembaga filantropi dalam SDGs adalah minimnya sosialisasi di kalangan lembaga filantropi. Belum banyak lembaga filantropi memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam pencapaian agenda SDGs. Sehingga, banyak lembaga filantropi masih berkutat dengan agenda programnya masing-masing. Selain itu, berkaitan dengan kontribusi dari program-program lembaga dengan tujuan SDGs, mayoritas lembaga masih berkonsentrasi melakukan program di tujuan kualitas pendidikan yang baik (13%) dan kesehatan dan kesejahteraan (13%). Penyebaran program yang belum merata pada bidang-bidang lain juga perlu diperhatikan. Sehingga, pencapaian SDGs tidak hanya memenuhi pada beberapa tujuan saja. Terakhir, tantangan lainnya adalah saat ini masih belum ada pengakuan dari pemerintah terkait dengan kontribusi lembaga filantropi dalam pembangunan.

Tantangan lainnya yang dihadapi oleh lembaga filantropi minimnya dukungan dan lambatnya respon pemerintah dalam mendukung dan memfasilitasi aktivitas dan program lembaga filantropi. Sementara dari sisi internal, keberlanjutan pendanaan untuk internal lembaga. Namun, tantangan dan hambatan ini harusnya dapat diatasi dengan cara keterbukaan kerjasama seluruh pemangku kepentingan. Penelitian ini merekomendasikan adanya keterbukaan dari pemerintah dalam mendorong keterlibatan lembaga filantropi dan sektor lain untuk mendukung pencapaian SDGs. Pemerintah harus berperan lebih aktif sebagai koordinator yang menghubungkan seluruh sektor, yaitu lembaga filantropi, LSM atau NGO, sektor privat, dan lainnya, untuk bekerja sama dalam pencapaian SDGs dengan memahami landasan historis-filosofis, prinsip-prinsip, pendekatan dan visi SDGs.



Leave a Reply