Filantropi untuk Bantuan Hukum di Indonesia

Kedermawanan sosial atau biasa juga disebut filantropi di Indonesia berkembang pesat dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir. Perkembangan filantropi di tanah air didorong karena beberapa hal, diantaranya: kedermawanan sosial yang telah mengakar di Indonesia, krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an dan beragam bencana yang terjadi secara beruntun di Indonesia. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk lebih peduli dan berbagi sekaligus memunculkan berbagai inisiatif penggalangan dana dan sumber daya guna membantu masyarakat yang membutuhkan. 

Perkembangan kegiatan filantropi atau kedermawanan di Indonesia menunjukkan trend positif dan jumlahnya meningkat dibanding tahun sebelumnya. Hal itu tergambar dari hasil penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan Dompet Dhuafa tahun 2014  yang mencatat jumlah sumbangan yang disalurkan mencapai Rp 12,45 triliun atau sekitar Rp 1,04 triliun per bulan. Sebelumnya tahun 2013 hanya berkisar Rp. 8,6 trilyun. Artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. 

Perkembangan, perubahan prilaku dan besarnya dana filantropi ini, sayangnya belum banyak dapat di akses oleh LSM/NGO khusunya yang bergerak di bidang keadilan advokasi dan bantuan hukum. Banyak LSM/NGO advokasi dan bantuan hukum ini ditengah dana filantropi yang berlimpah ruah justru masih bergantung pada donor asing yang jumlahnya makin mengecil, hingga banyak LSM/NGO yang tumbang, “hidup segan mati tak mau”.

Untuk menyediakan informasi dan data sumber daya lembaga filantropi yang bisa diakses oleh LSM/NGO advokasi dan bantuan hukum rakyat miskin, PIRAC melakukan riset pemetaan potensi filantropi untuk mendukung program advokasi dan bantuan hukum rakyat miskin di Indonesia. 

Pada hari Rabu, 10 Juni 2019, diskusi terfokus filantropi bantuan hukum dilaksanakan di sekretarian Filantropi Indonesia. Diskusi memaparkan tentang persepsi program bantuan hukum. Beberapa temuan menarik dari diskusi ini aalah bahwa program bantuan hukum masih sulit untuk mendapat bantuan dari filantropi terutama di filantropi perusahaan karena ada etika diperusahaan (solidaritas antar perusahaan) yang tidak akan membantu OBH/LBH yang sedang mengadvokasi perusahaan lain. Program bantuan hukum seringkali berhadapan dengan perusahaan/penguasa yang memiliki power/kekuasaan sehingga sulit di”Lawan”. Program ini juga sangat sensitive dan bisa jadi boomerang bagi perusahaan yang akan membantu.

Isu bantuan hukum ini masih sensitive, karena sepertinya kita membantu orang yang berperkara/orang salah, apalagi berbiaya mahal dengan waktu yang panjang dengan output/hasil capaian yang belum jelas. Program bantuan hukum masih sulit mendapat dukungan karena juga penerima manfaatnya sedikit (individu) dengan pembiayaan besar dan durasi waktu yang cukup pangjang. Bila dikonversi dengan program pendidikan/kesehatan maka gab jangkauanya sangat lebar. Bisa jadi 1 kasus individu untuk bantuan hukum sama dengan sekian puluh penerima manfaat di program pendidikan dan kesehatan. Konversi bantuan advokasi VS bantuan pendidikan/kesehatan tidak imbang. Visi misi lembaga bantuan hukum kadang berseberangan dengan ketentuan donatur untuk kegiatan tertentu. Tidak ada pertemuan kepentingan antara donator dangan lembaga bantuan hukum bahkan untuk perusahaan kadang malah berseberangan.  Pencaiaran dana bantuan hukum masih rumit, kadang ada penolakan pencairan dana dari pemerintah ketika tidak dapat menunjukan bukti pengeluaran yang falid (karena kwitansi hilang dll) sehingga menjadi kerugian operasional. Untuk mencari SDM advokat yang bekerja di lembaga social juga sulit karena mereka lebih memilih bergabung di lawfirm professional dengan gaji besar. 

Persepsi peserta FGD terkait dengan program bantuan dukum ini menjadi temuan menarik hasil riset.  Diharapkan riset ini nanti dapat menjadi refrensi bagi LBH/OBH untuk membangun sinergi dan kerjasama dengan berbagai lembaga filantropi di Indonesia.



Leave a Reply