Pengelolaan Sumbangan di Media harus Akuntabel

SURABAYA – Media massa saat ini punya peran strategis dalam pengembangan filantropi atau kegiatan kedermawanan di Indonesia, khususnya saat terjadi bencana. Media dipercaya masyarakat untuk mengelola dan menyalurkan sumbangan dalam jumlah besar.

“Amanah ini harus dijaga dan dipertanggungjawabkan dengan mengelola sumbangan secara profesional dan akuntabel,” kata Antonius Eddy Sutedja, Ketua Tim Perumus Kode Etik Filantropi Mediamassa, pada acara sosialisasi Kode Etik Filantropi Mediamassa di Midtown Hotel, Surabaya, pada hari Rabu (20/3/2013).

Acara sosialisasi digelar oleh PFI (Perhimpunan Filantropi Indinesia) bekerja sama dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Timur dan dihadiri pengurus PWI, pengelola sumbangan media, pimpinan redaksi dan jurnalis media massa di Jawa Timur.

Kode Etik Filantropi Mediamassa merupakan salah satu peraturan Dewan Pers pada 11 januari 2013 sebagai pedoman bagi media yang memiliki program filantropi atau kedermawanan masyarakat. Kehadiran Kode Etik ini dianggap penting mengingat berkembangnya peran baru mediamassa dalam mengelola kegiatan kedermawanan masyarakat (filantropi), di luar peran utamanya sebagai penyampai informasi dan hiburan. Penelitian yang dilakukan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan PFI (Perhimpunan Filantropi Indonesia) mencatat 147 media yang mengelola sumbangan masyarakat, baik yang bersifat tetap maupun insidentil/temporer. Media dinilai sukses menggalang dan menyalurkan sumbangan masyarakat sampai milyaran rupiah, khususnya saat terjadi bencana.

Namun, pada saat yang sama juga ditemui beragam persoalan akuntabillitas, mulai dari penggunaan rekening perusahaan dan pribadi untuk menampung sumbangan, tidak membuat dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban, sampai penyaluran sumbangan yang tidak tepat dan salah sasaran. Selain itu, juga ditemukan kasus pemanfaatan sumbangan publik untuk kegiatan CSR perusahaan media, serta penyaluran sumbangan untuk kepentingan partai dan tokoh politik tertentu.

Kode Etik Filantropi memuat beberapa prinsip dan ketentuan yang harus ditaati media dalam menggalang, mengelola dan menyalurkan sumbangan masyarakat. Misalnya, Penggalangan sumbangan harus dilakukan secara sukarela, terbuka, etis, nonpartisan dan sesuai hukum yang berlaku. Media pengelola sumbangan juga harus menyediakan rekening khusus untuk menampung sumbangan masyarakat. Media pengelola sumbangan harus membuat sistem dan prosedur pengelolaan sumbangan secara profesional dan menyampaikan laporan program dan keuangannya secara tertulis kepada publik. Kode etik juga melarang pemanfaatan dan penyalahgunaan sumbangan masyarakat untuk keperluan promosi atau program CSR perusahaan atau pemilik perusahaan

Eddy Sutedja menuturkan, Kode etik ini disusun oleh tim perumus yang dibentuk oleh Dewan Pers dan terdiri dari perwakilan media cetak, televisi, radio dan siber/web. Penyusunan dilakukan dengan mengacu pada pengalaman mediamassa dalam dalam pengelolaan sumbangan masyarakat, berbagai praktik baik, serta kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Perumusan juga mengacu pada berbagai aturan perundang-undangan dan kode etik yang berkaitan dengan mediamassa dan kegiatan pengelolaan sumbangan masyarakat. Draft kode etik yang dihasilkan tim perumus selanjutnya disosialisasikan ke masyarakat dan stakeholder terkait untuk mendapatkan masukan sebelum disahkan.

Perumusan kode etik filantropi mediamassa ini merupakan inisiatif program dari PFI (Perhimpunan Filantropi Indonesia) dan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dengan dukungan Yayasan TIFA yang kemudian difasilitasi dan didukung oleh Dewan Pers. Kehadiran pedoman dalam bentuk Kode etik ini dinilai sudah cukup mendesak mengingat media belum memiliki pedoman atau aturan main yang bisa menjadi acuan dalam pengelolaan sumbangan masyarakat di mediamassa. “Dalam menjalankan fungsi jurnalistik, mediamassa telah punya satu acuan bersama yaitu Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Sementara dalam menangani kedermawanan sosial masyarakat ini belum ada pedoman atau aturan main yang bisa menjadi acuan dan dihormati oleh semua pengelola sumbangan masyarakat di media,” kata Hamid Abidin, Pengurus PFI yang juga terlibat sebagai anggota tim perumus.

Ketua PWI Jatim, Drs. H. Akhmad Munir, mengharapkan agar Kode etik ini bisa menjadi pedoman umum, rujukan, dan instrumen edukasi bagi pengelola sumbangan masyarakat di mediamassa dalam penggalangan, pengelolaan, serta penyaluran sumbangan masyarakat. Selain itu, kode etik ini juga bisa berfungsi sebagai regulasi internal yang mengikat bagi praktisi media saat menjalankan kegiatan filantropi. “Ini bisa jadi referensi bagi kita sebagai insan pers agar senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat dalam menjalankan kegiatan jurnalistik maupun kegiatan pengelolaan sumbangan,” tegasnya.